TUGAS
IBADAH DAN AKHLAK
TEORI
DAN PRAKTEK ZAKAT DI INDONESIA
MOHAMMAD IRSYAD SAFRONY
11525107
JURUSAN
TEKNIK MESIN
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS
ISLAM INDONESIA
BAB I
TEORI ZAKAT
Pengertian Zakat
Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan
oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun
Islam.
Etimologi
Secara harfiah zakat berarti
“tumbuh”, “berkembang”, “menyucikan”, atau “membersihkan”. Sedangkan secara
terminologi syari’ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan
dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana
ditentukan.
Sejarah zakat
Setiap muslim diwajibkan
memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis
di dalamAl-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan
sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian
hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib
hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini
dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan
beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam
negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan
pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman Khalifah, zakat
dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu
dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin
membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar.
Syari’ah, mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu
harus dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan
zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.
Hukum zakat
Zakat merupakan salah satu rukun islam, dan menjadi
salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat islam. Oleh sebab itu hukum
zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti
shalat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan
Al-Qur’an dan As Sunnah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan
kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Jenis zakat
Zakat terbagi atas dua jenis
yakni:
- Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan
Ramadhan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan
pokok yang ada di daerah bersangkutan.
- Zakat maal (harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil
ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki
perhitungannya sendiri-sendiri.
Yang berhak menerima
Ada delapan pihak yang berhak
menerima zakat, yakni:
- Fakir – Mereka yang hampir
tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
hidup.
- Miskin – Mereka yang memiliki
harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
- Amil – Mereka yang mengumpulkan
dan membagikan zakat.
- Mu’allaf – Mereka yang baru
masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
barunya
- Hamba Sahaya – yang ingin
memerdekakan dirinya
- Gharimin – Mereka yang
berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
- Fisabilillah – Mereka yang
berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
- Ibnu sabil – Mereka yang
kehabisan biaya di perjalanan.
Yang tidak berhak
menerima zakat
- Orang kaya. Rasulullah
bersabda, “Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan
orang yang mempunyai kekuatan tenaga.” (HR Bukhari).
- Hamba sahaya, karena masih
mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
- Keturunan Rasulullah.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait)
mengambil sedekah (zakat).” (HR Muslim).
- Orang yang dalam tanggungan
yang berzakat, misalnya anak dan istri.
- Orang kafir.
BAB II
TEORI
PENGELOLAAN ZAKAT
1. Teori dan
Pandangan Normatif
Seiring
dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran Negara hukum yang kini
dianut oleh Negara-negara di dunia adalah Negara Kesejahtraan (Welfare State).
Ciri utama dari Negara ini adalah adanya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan
kesejahtraan umum bagi warga negaranya, dalam kaitannya dengan organisasi
Negara, untuk mengatur organisasi Negara dan susunan pemerintahan maka setiap
Negara memerlukan suatu konstitusi. Konstitusi dalam kenyataannya lengkap
mengatur hubungan antar lembaga Negara, dan dengan warga Negara serta
menyatakan diri sebagai Negara hukum.
Untuk itu, partisipasi rakyat dalam berbagai fungsi kehidupan bernegara adalah
merupakan salah satu sarana untuk mencapai penegakkan hukum ( Rule Of Law )
tersebut atau lebih dikenal dengan system demokratis. Dengan kata lain, Negara
hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi.
Menurut
H.D.Van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip Rechtstaat atau
Negara hukum, sebagai berikut:
1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang, pemerintah hanya memiliki kewenangan
yang secara tegas diberikan oleh undang-undang dasar dan undang-undang lainnya.
2. Hak-hak asasi, terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus
dihormati oleh pemerintah
3. Pembagian kekuasaan, kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada suatu
lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling
mengawasi dan dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan.
4. Pengawasan lembaga kehakiman, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus dapat
diajukan dan dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka.
Pada
abad ke-19 muncul konsep Rechtstaat dari Fredrich Julius Stahl. Menurut Stahl
unsur-unsur Negara hukum (Rechtstaat) adalah sebgai berikut :
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemisahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. Peradilan administrasi dalam Perselisihan.
Pada saat yang sama muncul pula konsep Negara hukum (Rule Of Law) dari A.V.
Dicey yang lahir dalam naungan system Anglosaxon. Menurutnya unsur-unsur Negara
hukum adalah sebagai berikut :
a. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang
(absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum
kalau melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil
ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Selain
itu menurut B. Arif Sidharta menyatakan, Negara hukum adalah Negara yang
berintikan unsur-unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut:
Pertama, pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian umat manusia
(identitas) yang mengimplementasikan asas pengakuan dan perlindungan martabat
dan kebebasan manusia, yang merupakan asas fundamental Negara hukum. Kebebasan
disini mencakup kebebasan individu, kebebasan kelompok, kebebasan masyarakat
etnis, dan kebebasan masyarakat nasional. Kebebasan dan kemungkinan pelaksanaan
faktualnya tidak tanpa batas, melainkan ditentukan dan dibatasi faktor
kesejahtraan, keadaan factual eksternal, pandangan kefilsafatan dan keagamaan,
nilai-nilai serta penetapan asas-asas dan kaidah lainnya.
Kedua,
asas kepastian hukum yang mengimplementasikan hal berikut ini, para warga
masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak dapat
diprediksi dan tindakan sewenang-wenang. dalam arti semua tindakan pemerintah
harus bertumpu kepada aturan yang tertuang di dalam hukum positif.
Ketiga,
asas persamaan (similia similibus). Pemerintah dan para pejabatnya harus
memberikan perlakuan sama kepada semua orang, dan undang-undang juga berlaku
sama untuk semua orang.
Keempat, asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan keputusan ,
di mana setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi
putusan dan tindakan pemerintah.
Kelima, asas pemerintah dan para pejabatnya pengemban fungsi melayani
masyarakat. Asas ini menjabarkan ke dalam seperangkat asas umum pemerintahan
yang layak (algemeene beginselen van behoorlijk bestuur). Syarat fundamental
bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi harus terjamin dan
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
Sejalan
dengan itu, suatu konsepsi yang sangat penting diperhatikan berkenaan dengan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan adalah konsep tentang kewenangan sangat
memegang peranan penting dalam Hukum Administrasi Negara. Kewenangan dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah Bevoegheid yaitu berkaitan erat dengan
wewenang pemerintah dalam mengelola dan melaksanakan kekuasaan Negara, adapun
mengenai ruang lingkup kewenangan tidak hanya meliputi pengambilan keputusan
oleh penguasa tetapi juga menyangkut kewenangan untuk melaksanakan tugas
pemerintah. Secara Teoritis kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara:
a. Atribusi: pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan;
b. Delegasi: pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan yang lain;
c. Mandat: terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangan dijalankan
oleh organ lain atas namanya.
Menurut
Bagir Manan (dalam Ridwan H.R) menjelaskan bahwa wewenang di dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan (Macht). Kekuasaan hanya mengambarkan hak untuk
berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban (Rechten en plichten).
Konsep kewenangan menurut beberapa orang sarjana adalah sebagai berikut :
• Philipus M. Hadjon: kewenangan pemerintah dapat beberapa kekuasaan bebas atau
kekuasaan diskresi, yaitu kewenangan untuk memutuskan secara mandiri dan kewenangan
interpretasi terhadap norma-norma tersamar namun tetap tunduk pada hukum.
• Herbert A. Simons: wewenang adalah suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan
dan berkaitan dengan atasan dan bawahan.
• S.F. Marbun : wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum
public (yuridis) juga sebagai kemampuan bertindak yang diberikan undang-undang
untuk melakukan hubungan hukum.
• Prajudi Atmosudirjo : wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik.
Suatu hal yang penting dijelaskan, bahwa berbagai pemikiran mengenai kewenangan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, pelaksanaannya sangatlah
dipengaruhi oleh faktor pemeran (faktor non-juridik nirmatif) dalam uraian
berikut.
2. Teori Efektivitas Hukum (Sosiologis)
Telah
diungkapkan, bahwa pelaksanaan dan pengelolaan zakat tidak hanya diperankan
oleh pemerintah; melainkan ditujukan kepada warga masyarakat, terutama warga
yang memiliki kemampuan harta kekayaan berkewajiban mengeluarkan zakat
(Muzakki), dan warga penerima zakat (Mustahiq). Berkenaan dengan itu, hukum
merupakan suatu sarana yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan, keutuhan,
ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Atau dengan kata
lain, keseraian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman
yang bersifat batiniah.
Dengan
demikian kehadiran hukum merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat,
sehingga sulit dibayangkan apabila dalam suatu masyarakat dapat berjalan tertib
tanpa adanya hukum yang mengaturnya. Eksistensi Undang-undang Pengelolaan Zakat
sangatlah diperlukan bagi pengembangan kehidupan umat, terutama bagi Mustahiq
yang relatif sangat lemah.
Indikator kedua, pemahaman hukum, dalam arti sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi dari suatu peraturan. Dengan perkataan lain pemahaman
hukum merupakan suatu pengertian atau penguasaan seseorang terhadap hukum
tertentu, baik menyangkut substansi maupun tujuannya.
Indikator
ketiga, sikap hukum artinya seseorang mempunyai kecendrungan untuk mengadakan
penilaian tertentu terhadap hukum. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan
warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya,
sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan
terhadapnya.
Berdasarkan teori psikologi struktur pembentukan sikap meliputi:
a. Komponen kognitif (komponen konseptual) berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan terhadap obyek sikap;
b. Komponen afektif (komponen emosional) yakni berhubungan dengan perasaan
senang atau tidak senang terhadap obyek sikap;
c. Komponen konatif (komponen perilaku) yakni komponen yang berhubungan dengan
sikap tindak terhadap obyek sikap.
Indikator
keempat, pola perilaku hukum artinya seseorang berperilaku sesuai dengan hukum
yang berlaku. Mengenai hal ini Friedman mengemukakan bahwa :
“Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a
deliberate instance of legal behavior that bends toward the legal act that
ovoked it. Or the legal behavior in the middle, one important type might be
colled evasion. Evasive behavior frustrates the goals of a legal act, but falls
short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability”.
Berdasarkan
pendapat tersebut, maka perilaku seseorang terhadap hukum dapat
diklasifikasikan dalam bentuk ketaatan atau kepatuhan (compliance),
ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan atau menghindar
(evasion). Secara teoritis prilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor
internal yaitu faktor yang merupakan psikologik yang ada pada diri seseorang.
Faktor ini condong menggerakkan orang yang bersangkutan untuk mempromosikan
kepentingan pribadi atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang rasional,
sehingga faktor inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang untuk taat
terhadap suatu ketentuan, karena individu selalu berupaya mencari kemudahan dan
kemanfaatan bagi dirinya. Selain faktor internal, faktor lain yang mempengaruhi
prilaku seseorang adalah faktor-faktor yang eksis di luar diri seseorang
(eksternal) yang berupa lingkungan sosial yang penuh dengan pengaturan dan
pengharusan (dunia normatif). Faktor internal dapat disebut sebagai penggerak
dan pengada prilaku, sedangkan faktor eksternal adalah faktor pembentukan atau
pemolaannya .
Dalam
kehidupan bermasyarakat, kedua faktor tersebut sangat penting artinya karena
akan menentukan pola prilaku yang diwujudkan. Pengaruh kedua faktor itu akan
tampak dari warga masyarakat yang selalu bergerak dan menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi yang akan mendukung prilakunya.
Selanjutnya
Giddens mengemukakan ada tiga hal yang mem pengaruhi lahirnya prilaku yaitu:
Pertama reflaxtif of action, kedua ratioanalization of action dan ketiga
motivation of action. Reflextion monitoring of action, tindakan para individu
yang diwujudkan berdasarkan pengalaman dan tindakan para individu tersebut
tercipta karena adanya hubungan antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Rationalization of action, yaitu suatu tindakan yang dilakukan individu
berdasarkan alas an yang logis/rasional karena adanya pengetahuan dari individu
yang bersangkutan. Motivation of action yaitu suatu kemauan dari para individu
yang didasarkan pada aspek kesadaran dan ketidak sadaran individu terhadap
kognisi dan emosinya.
Prilaku
seseorang seringkali dilakukan secara sadar dan ketidak sadaranya, prilaku yang
dilandasi dengan penuh kesadaran akan membawa manfaat baik bagi dirinya maupun
orang lain. Karena itu prilaku hendaknya didukung oleh niat yang baik dan
dengan kesedaran yang tinggi.
Fishbein,
dalam hal ini mengemukakan bahwa niat seseorang untuk berprilaku di pengaruhi
oleh persepsinya tentang manfaat prilaku tersebut serta persepsinya tentang
sikap kelompok panutannya. Selanjutnya Fishbein mengemukakan beberapa proposisi
yakni:
a. Prilaku seseorang dipengaruhi oleh niatnya untuk melakukan perilaku
tersebut;
b. Niat seseorang untuk melakukan prilaku tertentu dipengaruhi oleh
keyakinannya (beliefs) mengenai konsekwensi dari tindakan tersebut serta
manfaatnya bagi dirinya;
c. Niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh
keyakinannya mengenai harapan-harapan kelompok panutan serta motivasinya untuk
memenuhi harapan tersebut.
Menurut
Hobbes dan Freud, pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan
karenanya cenderung memuaskan kepentingannya sendiri . Akibat sifat manusia
yang cenderung memuaskan kepentingannya sendiri, maka seringkali menimbulkan
benturan-benturan kepentingan dengan pihak lain yang apabila tidak dikendalikan
akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan sosial (deviasi sosial).
Untuk menganalisis bekerjanya hukum sebagai suatu sistem, Friedman menyatakan
bahwa “ A legal system in actual operation is complex organism in which
structure, substance and culture interact ” .
Yang
dimaksud dengan komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak didalam
suatu mekanisme misalnya organisasi-organisasi/lembaga-lembaga hukum). Komponen
substansi yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh system hukum (misalnya
norma-norma hukum, termasuk peraturan perundang-undangan, keputusan yang dibuat
oleh pengadilan atau yang ditetapkan oleh badan pemerintah). Sedangkan komponen
kultur merupakan komponen pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum
itu ditengah kultur/budaya masyarakat (terdiri dari nilai-nilai dan sikap
publik).
Pengukuran
terhadap efektivitas hukum atau pelaksanaan hukum dapat dilihat melalui norma
yang ada di dalam undang-undang itu sendiri, dimana yang dimaksud dengan norma
disini terutama dalam penelitian ini adalah Pengelolaan Zakat menurut Undang
Undang Nomor 38 Tahun 1999. Selain melalui norma yang terdapat di dalam
Undang-undang itu sendiri, efektivitas hukum dapat dilihat dari pemahaman
masyarakat terhadap norma yang ada artinya bahwa bagaimanakah penguasaan
seseorang terhadap materi atau isi dari peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dapat dilihat dari prilaku aparat penegak hukum artinya bahwa
penegak hukum adalah merupakan ujung tombak dari penegakan hukum di lapangan.
Yang menjadi permasalahan adalah ketika substansi undang-undangya sangat
responsip, prilaku masyarakat menunjukkan ketaatan terhadap norma tadi tetapi
jika aparatnya tidak mampu melaksanakan norma tadi, maka akan terjadi
ketimpangan dalam hal penegakan hukum di masyarakat.
Mengkaji bekerjanya hukum dalam masyarakat, menurut Robert B. Seidman ada 3 (tiga)
unsur yang berkaitan didalamnya yaitu:
a. Lembaga pembuat peraturan;
b. Lembaga penerap peraturan (birokrasi);
c. Pemegang peran.
·
Selanjutnya oleh Seidman dinyatakan
bahwa tingkah laku pemegang peran dapat ditentukan oleh peraturan-peraturan
hukum yang disampaikan kepadanya, dan oleh keseluruhan kekuatan-kekuatan sosial
yang bekerja didalam masyarakat. Dan lembaga penerapan sanksi/peraturan akan
bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku tergantung dari adanya sanksi
yang ada padanya. Setiap tingkah laku pemegang peran dapat merupakan umpan
balik yang disampaikan kepada pembuat peraturan.
Namun
bekerjanya hukum tidak hanya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan itu
saja, tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya. Termasuk faktor-faktor anyg turut
menentukan respon yang akan diberikan oleh pemegang peran adalah:
a. sanksi yang terdapat didalamnya;
b. aktivitas dari lembaga-lembaga/ badan pelaksanan hukum;
c. seluruh komplek kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya lagi yang bekerja
atas diri si pemegang peran itu.
Beberapa Faedah Zakat
Faedah
Diniyah (segi agama)
- Dengan berzakat berarti telah
menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba
kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
- Merupakan sarana bagi hamba
untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah
keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
- Pembayar zakat akan mendapatkan
pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276).
Dalam sebuah hadits yang muttafaq “alaih Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam” juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik
akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
- Zakat merupakan sarana
penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
Faedah
Khuluqiyah (Segi Akhlak)
- Menanamkan sifat kemuliaan,
rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
- Pembayar zakat biasanya identik
dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang
tidak punya.
- Merupakan realita bahwa
menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi
kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti
ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat
pengorbanannya.
- Di dalam zakat terdapat
penyucian terhadap akhlak.
Faedah
Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
- Zakat merupakan sarana untuk
membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan
kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
- Memberikan dukungan kekuatan
bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat
dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi
sabilillah.
- Zakat bisa mengurangi
kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir
miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas
ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak
bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta
yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan
tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si
miskin.
- Zakat akan memacu pertumbuhan
ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
- Membayar zakat berarti
memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta
dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang
mengambil manfaat.
Hikmah Zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
- Mengurangi kesenjangan sosial
antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
- Pilar amal jama’i antara mereka
yang berada dengan para mujahid dan da’i yang berjuang dan berda’wah dalam
rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
- Membersihkan dan mengikis
akhlak yang buruk
- Alat pembersih harta dan
penjagaan dari ketamakan orang jahat.
- Ungkapan rasa syukur atas
nikmat yang Allah SWT berikan
- Untuk pengembangan potensi
ummat
- Dukungan moral kepada orang
yang baru masuk Islam
- Menambah pendapatan negara
untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
Zakat dalam Al Qur’an
ü QS (2:43) (“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat
dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”.)
ü QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam
neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu.”)
ü QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun
yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).
BAB
III
PRAKTEK
ZAKAT DI INDONESIA
Praktek
Zakat di Indonesia
Masyarakat di
Indonesia biasanya menyalurkan zakat biasa lewat panitia zakat di masjid-masjid
ataupun juga melaui lembaga-lembaga zakat nasional dan swasta yang telah
ditunjuk pemerintah. Dalam penyaluran zakat di Indonesia sepertinya sudah
tersalur dengan baik, masyarakat yang berhak menerimanya pun telah menerima
atau bisa dibilang tepat sasaran.
Contoh dari
lembaga-lembaga zakat di Indonesia ialah seperti ;
Ø
Dompet Dhuafa
Republika
Ø
Rumah Zakat
Ø
Bina Insan Prestasi
Ø
Portal Infaq
Ø
Baitul Maal
Hidayatullah
Ø
Baitulmaal Muamalat
Ø
Pos Keadilan Peduli
Umat
Ø
Dan lain-lain.
Permasalan Zakat di
Indonesia
v
Persoalan Zakat
adalah sesuatu yang tidak pernah habis dibicarakan, wacana tersebut terus
bergulir mengikuti peradaban Islam. Di Indonesia Persoalan yang muncul atas
zakat sekarang : Pertama, Peran zakat sebagai salah satu rukun Islam
yang harus ditunaikan oleh umat Islam yang mampu (muzakki) hanya menjadi
kesadaran personal. Membayar zakat merupakan kebajikan individual dan sangat
sufistik sehingga lebih mementingkan dimensi keakhiratan. Semestinya
zakat adalah menjadi sebuah gerakan kesadaran kolektif, taruhlah kita bisa
canangkan gerakan sadar zakat, seperti yang pernah dicanangkn oleh Presiden
Megawati pada tanggal 2 Desember 2001 di Masjid Istiqlal pada acara peringatan Nuzulul
Qur’an, sehingga zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat. Karena,
Zakat bukan hanya sekedar kewajiban yang mengandung nilai teologis, tetapi juga
kewajiban finansial yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Persoalan ini,
tidak lepas juga dari pamahaman umat (yang wajib zakat) terhadap makna subsansi
zakat. Zakat hanya sebagai suatu kewajiban agama (teologis) untuk membersihkan
harta milik dari kekotoran. 1
Pemahaman masyarakat seperti itu tentang zakat, akhirnya zakat di berikan tanpa
melihat sisi kemanfaatan ke depan bagi yang berhak menerimanya (Mustahiq).
Tanpa melihat, bahwa Zakat memainkan peran penting dan signifikan dalam
distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata pada tingkah laku
konsumen. Dengan zakat distibusi lancar dan kekayaan tidak melingkar di sekitar
golongan elit (konglomerat). Namun akhir-akhir ini kesadaran di kalangan
umat Islam menengah atas lainnya makin membaik. Selain membayar pajak mereka
juga membayar zakat. Kedua, meningkatnya kesadaran umat Islam dalam
membayar zakat tidak disertai dengan pengumpulan dan penyaluran yang terencana
secara komprehensif. Bagaimana zakat yang punya peran sangat penting dalam
menentukan ekonomi umat bisa dapat terkelola dengan baik dan professional-produktif.
Pengelolaan yang tidak baik dan profesional menjadikan zakat tidak
produktif dalam ikut andil mengembangkan ekonomi umat. Kita dulu punya BAZIS
(Badan Amil Zakat dan Shodaqah) yang semi-pemerintah, sekarang kita punya Badan
Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibina oleh pemerintah atas
keinginan masyarakat. Hanya saja, system kelembagaan zakat tidak sama dengan
lembaga pajak yang sudah dinilai kuat, tampaknya BAZIS/ BAZ/ LAZ masih terkesan
lemah dan tidak mudah menetapkan target. Ditambah lagi dengan persoalan amanah
yang kurang dimiliki oleh penyelenggara zakat. Sebenarnya, ada tiga kata kunci
yang harus dipegang oleh organisasi pengelola zakat agar menjadi good organization
governance, yaitu Amanah, Professional dan Transparan. Ketiga, sisi
pendukung Legal-formal kita kurang proaktif dalam melihat potensi zakat
yang sekaligus sebagai aplikasi dari ketaatan kepada agama bagi umat Islam.
Seperti yang disampaikan Pimpinan DSUQ Bandung bahwa potensi zakat secara
finansial dalam setahun di Indonesia bisa terkumpul mencapai 2 trilliun rupiah.
Jumlah itu baru yang bisa di hitung dari jumlah orang kaya (muzakki) yang
terdeteksi. Tapi kenyataannya, pengumpulan zakat, masih dibawah standar rasio
rata-rata jumlah umat Islam yang kena kewajiban zakat (muzakki).
Semestinya sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, negara
proaktif dalam menyikapi kebutuhan umat, dimana ajaran Islam yang asasi seperti
zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat dengan melahirkan Undang-undang
zakat dari sejak kemerdekaan.
v
Lahirnya
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat yang disahkan pada
tanggal 23 September 1999, walau tidak ada kata terlambat, tidak begitu banyak
memberikan angin segar kepada umat Islam dalam mewujudkan suatu tatanan
perekonomian yang kuat. Tetapi kita masih bisa bersyukur, dengan lahirnya
Undang-undang tersebut, walau terjadi tarik menarik kepentingan (penguasa dan
rakyat) dalam lahirnya Undang-undang tersebut. Ditambah lagi dengan adanya
perubahan atas Undang-undang PPh No. 17 Tahun 2000 yang disahkan tanggal 2
Agustus 2000 dimana zakat menjadi pengurang pembayaran pajak.penghasilan. Kedua
undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada umat Islam bahwa zakat akan
terkelola dengan baik, walau tidak sedikit kekhawatiran bahwa undang-undang itu
hanya sebuah gerakan yang setengah hati yang hanya membesarkan hati umat Islam
dan akan berhenti di tengah jalan.
v
Kekhawatiran itu
tenyata terbukti dengan adanya stagnanisasi dalam usaha sosialisasi dan
realisasi kedua undang-undang tersebut. Terjadinya banyak kendala dalam
sosialisasi, realisasi dan tekhnis menjadi faktor yang sangat dominan dalam
terjadinya stagnan undang-undang tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi ? kita
mungkin melihat dengan kaca mata sinis terhadap pemerintah dalam menerapkan
konsep zakat, dengan mengatakan, bahwa Undang-undang zakat yang ada hanya
sebagai gerakan setengah hati. Atau kita bisa melihat dengan beragam kelemahan
yang ada pada Undang-undang No. 38/99 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 7/83
Jo.UU No.10/94 Jo.UU No. 17/2000 tentang Pajak Penghasilan sebagai pengurang
pembayaran pajak apabila sudah membayar zakat bagi umat Islam, seperti yang
disampaikan Hadi Muhammad dalam sebuah makalahnya atas kelemahan
Undang-undang tersebut, mengatakan : “metode Prepaid Tax lebih baik
ketimbang metode Deductible Expenses yang digunakan dalam UU No. 38/99,
karena sebetulnya hanya merupakan usaha excuse dari aparat ditjen pajak
untuk menunjukkan toleransi birokrasi terhadap ketentuan berzakat umat Islam.”
Daftar Pustaka
· Jufriem’s blog